Sabtu, 12 November 2016

Teknologi Bioskop Digital


Semakin pesatnya teknologi Digital Multimedia saat ini dimana para produsen film film dunia saat ini mulai mengalihkan teknik produksi film nya ke format Digital, hal ini semakin memaksa Bioskop Konvensional yang terbiasa menggunakan film seloluid 35mm untuk mengkonversi ke proyektor digital atau yang disebut DCP (Digital Cinema Package). Di Indonesia sendiri saat ini (tahun 2014) sudah hampir semua Bioskop besar seperti 21, XXI, Blitzmegaplex, Platinum dan (yang baru berdiri) Cinemaxx sudah memiliki studio Bioskop Digital.

 Ada beberapa nama besar proyektor bioskop yang paling banyak di aplikasikan di bioskop bioskop yang ada di indonesia. salah satunya adalah Barco Projektor dengan kisaran harga untuk resolusi 2K daya 37.000 Lumen $100,588. 
 
Proyektor diatas memiliki kualitas bentang 4k (3.840 x 2.160 Pixel).
Projector untuk standard bioskop itu harus punya intensitas cahaya yang terang (satuannya lumen) diatas 25.000 lumen jika di bandingkan dengan projector untuk presentasi biasanya terdiri kisaran 2.000 - 4.000 lumen, untuk Masalah harga jangan kaget nih yah harga satu proyektor merek Cristie misal, $125,000 untuk yang 25,000-lumen dan $161,000 untuk yang 35,000-lumen.

Meski demikian secara resolusi, kopi film 35mm “tradisional” masih lebih unggul dari format DCP yang sekarang ada. Format kopi film 35mm diperkirakan setara dengan resolusi 8K sedangkan format tayang di bioskop digital yang paling tinggi kualitasnya masih 4K. Kelebihan format digital adalah kejernihan kualitas gambar yang selalu konsisten karena tidak adanya risiko gambar cacat atau kotor karena sentuhan fisik seperti yang terjadi dengan kopi film.

Sejarah Digital Cinema ini sendiri bermula pada tahun 2002 dimana pada saat itu para Major Studio Hollywood membentuk sebuah organisasi yang bernama Digital Cinema Initiative (DCI). Organisasi ini diciptakan untuk menentukan standar arsitektur untuk bioskop digital agar tercapai model yang seragam secara global, berkualitas tinggi dan tangguh. Dengan mengacu pada standar Society of Motion Picture and Television Engineers (SMPTE) maupun International Organization for Standardization (ISO) maka ditentukan standar/format tertentu yang harus diaplikasikan untuk menyiapkan master materi film, sistem distribusinya, sampai ke urusan perlindungan isi film (content), pengacakan (encryption), dan penandaan khusus untuk menghindari pembajakan (forensic marking). Semua teknologi bioskop digital yang memenuhi persyaratan mereka disebut DCI Compliance (sesuai/cocok dengan DCI). Perbedaan dasar antara sinema analog dengan digital adalah cara pengemasannya (packaging), distribusi, dan penayangannya.

Untuk pendistribusian sebuah film, idealnya produser/rumah produksi mengirim materi ke server bioskop pada waktu dan tempat yang ditentukan lewat jaringan satelit. Kenyataaannya, karena keterbatasan infrastruktur, sampai sekarang materi film dikirim secara fisik dalam bentuk hard disk portable ke bioskop tujuan dan kemudian datanya ditransfer ke server bioskop.

Materi film itu baru bisa ditayangkan bila dimasukkan nomor seri khusus ke dalam sistem proteksi isi, pengacakan, dan penandaan khusus yang menempel pada materi film digital itu. Teknologi sistem proteksi isi ini disebut Key Delivery Message (KDM). Dengan KDM, materi film digital hanya bisa dibuka dengan nomor seri khusus pada waktu dan di tempat yang sudah ditentukan. Apabila terjadi pembajakan di bioskop, dengan alat khusus dapat dibaca watermark digital di kopi bajakan sehingga dapat dilacak di bioskop mana dan kapan pembajakan terjadi.
Source :
http://filmindonesia.or.id/
http://sunoracle-ngegeretkoper.blogspot.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Digital_cinema
http://www.21cineplex.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar